Minggu, 11 Desember 2011

SANITARY AND PHYTOSANITARY (SPS) MEASURE PERSETUJUAN TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN PERLINDUNGAN KESEHATAN MANUSIA, HEWAN DAN TUMBUH-TUMBUHAN

Pengertian :
Perjanjian “Sanitary and Phytosanitary (SPS)” merupakan salah satu bagian dari Perjanjian Putaran Uruguay – GATT/WTO, yang membidangi masalah pengaturan perdagangan dalam kaitannya dengan kesehatan manusia, hewan dan tanaman.
Persetujuan ini dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan di semua Anggota berdasarkan perjanjian. Sebagai kerangka aturan dan tata tertib multilateral yang akan mempedomani pengembangan dan penegakan tindakan-tindakan kesehatan  manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk sedapat mungkin memperkecil pengaruh negatif terhadap perdagangan melalui pengharmonisasian tindakan diantara para anggota.
Materi pokok perjanjian SPS ini terutama adalah :
A.     Setiap anggota dibenarkan untuk memperlakukan peraturan sanitasi dan phitosanitasi untuk   melindungi keselamatan dan kesehatan konsumen, hewan dan tanaman.
B.     Setiap peraturan SPS harus dilandasi oleh prinsip dan kajian ilmiah (Scientific Justification).
C.      Peraturan SPS tidak boleh dipakai sebagai hambatan terselubung (Disguised Restriction) dalam   perdagangan komoditi pertanian pangan.


Tujuan Perjanjian SPS yaitu :
A.     Melindungi kehidupan atau kesehatan hewan atau tanaman dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama, penyakit, organisme pembawa penyakit atau organisme penyebab penyakit;
B.     Melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari aditif, kontaminan (zat-zat yang mencemarkan), toksin atau organisme penyebab penyakit yang terkandung dalam makanan, minuman atau bahan pakan ternak;
C.     Melindungi kehidupan dan kesehatan manusia dalam wilayah Anggota dari risiko yang timbul dari penyakit yang dibawa hewan, tanaman atau produknya, atau dari masuknya, pembentukan atau penyebaran hama; atau
D.     Mencegah atau membatasi kerugian lain dalam wilayah Anggota yang timbul dan masuknya pembentukan atau penyebaran hama.

Tindakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan mencakup semua undang-undang, surat keputusan, peraturan-peraturan, persyaratan dan prosedur yang relevan, termasuk antara lain, kriteria produk jadi; proses dan metode produksi; prosedur pengujian, pemeriksaan, pengesahan kelayakan dan persetujuan; perlakuan karantina termasuk persyaratan relevan yang berhubungan dengan pengangkutan hewan dan tanaman, atau material yang  perlu agar mereka tetap hidup selama diangkut; ketentuan tentang metode statistik yang relevan, prosedur pengambilan contoh dan metode penelitian risiko; dan persyaratan pengemasan.

Komponen penting terkait kesehatan hewan Nasional :
Indonesia sebagai negara anggota ASEAN dan sekaligus APEC harus mengantisipasi fenomena dan dinamika perkembangan internasional maupun regional terutama dalam bidang perdagangan hewan dan produknya melalui reorientasi terhadap kebijakan perdagangan dengan memfokuskan perhatian terhadap salah satu aspek yang sangat penting dari perjanjian GATT yaitu "Perjanjian tentang Kesehatan Manusia, Hewan dan Tumbuhan" (Sanitary and Phytosanitary/SPS). Perjanjian SPS memuat hal-hal yang berkaitan dengan upaya pengamanan pangan dan perlindungan kesehatan hewan dan tumbuhan yang dijalankan oleh suatu negara.
Salah satunya yaitu dari aspek kesehatan hewan, meningkatnya lalu lintas perdagangan hewan dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit hewan ke dalam wilayah Indonesia yang dapat mengancam sumberdaya hewan yang ada di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia telah bebas 13 dari 15 penyakit hewan menular daftar A OIE yaitu penyakit hewan menular yang dapat menyebar dengan cepat melewati batas negara, mempunyai dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat yang tinggi serta mempunyai dampak yang sangat besar bagi perdagangan internasional. Selain itu Indonesia juga bebas dari beberapa penyakit hewan menular daftar B OIE yang penting seperti penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE) dan Scrapie. Melihat kondisi ini, Indonesia harus mampu memanfaatkan kesepakatan SPS untuk melindungi sumberdaya alam Indonesia dari ancaman penyakit hewan dari luar.
Untuk menjawab tantangan dan ancaman yang semakin kompleks dan kompetitif di era pasar bebas, maka perlu adanya perubahan pandangan dan reorientasi pembangunan peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia.
Sistem Kesehatan Hewan Nasional yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan agribisnis pertanian, penyehatan lingkungan, penyehatan masyarakat, penyediaan pangan bagi masyarakat, jaminan kestabilan usaha dan peningkatan daya saing usaha diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang meliputi:
1.      penolakan penyakit hewan;
2.      pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan;
3.      pelayanan kesehatan hewan;
4.      pengamatan penyakit hewan; dan
5.      pengawasan obat hewan.
Untuk mewujudkan wawasan tersebut di atas, maka paradigma sistem kesehatan hewan nasional diubah dari pendekatan penyakit hewan (animal disease) yang lebih menekankan pada komponen pengobatan, vaksinasi, isolasi dan dampak penyakit menjadi pendekatan kesehatan hewan secara utuh (animal health) dengan komponen utama keamanan pangan, stabilitas kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, keamanan lingkungan, kualitas pelayanan dan analisis risiko.
Kebijakan Perlindungan Sumberdaya Hewan dalam rangka melindungi sumberdaya hewan di Indonesia dari ancaman penyakit hewan yang berasal dari luar, pemerintah telah menerapkan kebijakan "Pengamanan Maksimal" (maximum security policy) yang dilaksanakan melalui :
a)      penolakan penyakit hewan eksotik;
b)      penerapan standar baku importasi hewan;
c)      penerapan analisis resiko;
d)      kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO); dan
e)      peningkalan kepedulian masyarakat.
Prinsip penolakan penyakit hewan eksotik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan yang mampu menangkal setiap ancaman penularan dari luar negeri. Penyakit-penyakit tersebut terutama yang tercantum dalam daftar A OIE (Penyakit Mulut dan Kuku/PMK, Vesicular Stomatitis, Swine Vesicular Disease, Rinderpest, Peste des Petits Ruminants, Contagious Bovine Pleuropneumonia/CBPP, Lumpy Skin Disease, Rift Valley Desease, Bluetongue, African Swine Fever, Sheep pox and Goat Pox, Highly Pathogenic Avian Infuenza/HPAI dan African Horse Sickness.
Kebijakan pengamanan maksimal dan pelaksanaan prosedur baku pemasukan seyogyanya dijalankan berdasarkan penerapan analisis risiko. Prinsip dasar analisis risiko adalah agar negara pengimpor dapat menilai risiko yang timbul sebagai akibat dari pemasukan hewan dan produk hewan.
Penerapan analisis risiko mencakup beberapa hal utama yang harus diperhatikan yaitu:
a)      Penilaian risiko (risk assessment) yang dilanjutkan dengan manajemen risiko (risk   management) dan komunikasi risiko (risk communication);
b)      Evaluasi pelayanan kesehatan hewan (evaluation of veterinary services); dan
c)      Penetapan wilayah dan regionalisasi (zoning and regionalization).
Selain penerapan analisis risiko, dalam perjanjian SPS juga diatur mengenai pentingnya harmonisasi, ekuivalensi, transparansi dan adanya perlakuan yang sama terhadap produk dalam negeri.
Untuk mengantisipasi masuknya penyakit hewan tertentu sebagai konsekwensi adanya arus perdagangan yang meningkat pada era globalisasi ini, maka diperlukan sebuah acuan dan pedoman yang siap dioperasikan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat apabila suatu penyakit yang tadinya bersifat eksotik terjadi di suatu negara atau apabila timbulnya wabah dan kejadian luar biasa. Pedoman ini disebut sebagai "Kesiagaan Darurat Veteriner" (Veterinary Emergency Preparedness) atau biasa disebut juga sebagai Contigency Plan.
Indonesia telah mempersiapkan prosedur baku tersebut (KIATVETINDO) yang akan menjadi acuan dan pedoman yang dapat dioperasionalkan pada saat wabah ataupun kejadian luar biasa penyakit hewan terjadi di Indonesia. Struktur KIATVETINDO terdiri dari dua komponen utama yaitu: a. Rencana darurat yang sifatnya teknis yaitu manual manajemen, prosedur operasional, prasarana peternakan; dan b. Rencana darurat yang sifatnya spesifik penyakit yaitu berisi strategi yang harus diikuti dalam upaya mendeteksi, menanggulangi dan memberantas penyakit tersebut, termasuk kebijakan dan strategi yang akan ditempuh apabila terjadi wabah atau kejadian luar biasa.
Penyusunan Kesiagaan Darurat Veteriner untuk penyakit eksotik dapat berupa penyakit eksotik bagi suatu negara dan penyakit eksotik per pulau/wilayah. KIATVETINDO yang telah disiapkan adalah KIATVETINDO PMK, Rabies dan BSE.
Upaya lain dalam rangka mempertahankan status kesehatan hewan negara Indonesia adalah melalui pendekatan "peningkatan kepedulian masyarakat" (public awareness). Kegiatan ini ditujukan terutama agar masyarakat dapat terlibat aktif dalam melaporkan setiap kejadian yang menyangkut bidang kesehatan hewan serta ikut terlibat dalam upaya pencegahan penyakit hewan di daerah masing-masing. Di samping itu diharapkan agar masyarakat dapat dan mampu memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Pemerintah (Cq. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan) dalam upaya menciptakan status kesehatan hewan yang stabil dan kondusif untuk dunia usaha agribisnis yang berdaya saing.
Bentuk media yang dapat digunakan untuk kegiatan peningkatan kepedulian masyarakat antara lain yaitu: Leaflet, booklet, poster, technical file, TV spot (iklan), koran (iklan dan tulisan), buku dan lain-lain.

1 komentar:

  1. Jasa Pembuatan Sertifikat PHYTOSANITARY,FUMIGASI,COO dan EMKL (JABODETABEK)
    HUB : sinarbuanaalam@gmail.com / farizsuhada07@gmail.com

    BalasHapus